Maka datanglah firman TUHAN kepada Elia: "Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan." Sesudah itu ia bersiap, lalu pergi ke Sarfat. Setelah ia sampai ke pintu gerbang kota itu, tampaklah di sana seorang janda sedang mengumpulkan kayu api. Ia berseru kepada perempuan itu, katanya: "Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi, supaya aku minum." 17:11 Ketika perempuan itu pergi mengambilnya, ia berseru lagi: "Cobalah ambil juga bagiku sepotong roti." Perempuan itu menjawab: "Demi TUHAN, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati." Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu TUHAN memberi hujan ke atas muka bumi." I Raja raja 17:8-14
adalah suatu tempat yang panas dan kering di daerah Phoenicia. Saat ini dikenal sebagai Libanon. Di sana tampak seorang janda muda berjalan menuju keluar kota hendak mengumpulkan ranting-ranting kering yang jatuh dari pepohonan hutan yang kala itu sudah mengering. Daerah Sarfat (SIDON) sudah mengalami kekeringan yang cukup lama, langit yang tampak cerah dan biru tak berawan seakan menghapus harapan akan turunnya hujan, walaupun hujan turun tetapi barang kali sudah terlambat bagi si janda Sarfat.
Kota ini sudah tidak mengalami musim hujan sudah kurang lebih 2 tahun. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyukai kelembapan yang menusuk tulang sepanjang minggu-minggu yang diguyur hujan pada musim semi, akan tetapi hujan sekarang sangat ditunggu-tunggu. Tanam-tanaman dan rumput liar dipadang saat itu sudah menjadi kecoklatan dan dedaunan hutan sudah banyak yang berguguran seolah-olah ikut mengalami penderitaan si janda. Imam baal dikawasan itu sudah di minta untuk menenangkan kemurkaan dewa kota, agar hujan dapat mengembalikan kehidupan di bumi, beberapa upacara ritual sudah diadakan, tetapi dewa kota itu yaitu dewa “Phoenicia’’ seolah-olah masih tetap menahan turunnya hujan.
Semua daerah dekat Phoenicia mengalami kekeringan. Pada saat itu rupanya ALLAH telah mendengar doa dari seorang Nabi besar yaitu Nabi Elia: Elia telah bersunggu-sunggu berdoa supaya hujan jangan turun dan hujanpun tidak turun di bumi selama 3 tahun dan 6 bulan (Yak 5:17). Dalam ceritera kitab suci tidak dirincikan dengan jelas siapa nama si janda itu, dari keturunan siapa dan golongan mana tetapi yang pasti Tuhan ingin menyelamatkannya. Hidup si janda memang sangat sulit dan ia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebelum kekeringan melanda daerahnya, dan sekarang rasanya hampir mustahil untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Matahari membakar dengan teriknya memenuhi seluruh wilayah phoenicia, akan tetapi bagi si janda, masalah utamanya bahwa ia hanya mempunyai sedikit makanan untuk dapat menopang hidup selama masa kekeringan yang belum pasti kapan berakhirnya. Dalam benaknya muncul pikiran untuk berpasrah pada nasib yang dideritanya. Ia mengambil kayu bakar dua tiga potong untuk membuat perapiannya yang terakhir, dan kemudian seperti para pendahulunya mereka akan mencari tempat yang tenang untuk menunggu kematian, karena kelaparan hebat semakin menggerogoti mereka.
Ditengah derap langkah kakinya dibawa panasnya terik matahari terdengar suara lemah tetapi pasti yakni suara seorang lakil-aki dibelakangnya: ”Cobalah ambil bagiku sedikit air dalam kendi supaya aku minum “(1raja-raja 17;10). Janda itu sedikit tersentak ketika mendengar suara itu, lalu memalingkan wajahnya ke arah dari mana suara itu berasal dan ketika dilihatnya orang tersebut ia pun menaruh belaskasihan padanya dan menuangkan air dalam kendi untuk diberikan kepadanya dan ketika ia menuangkan air, laki-laki itu kembali berkata: “cobalah ambil juga bagiku sepotong roti” (1 Raja - Raja 17:11).
Membantu dan merawat orang asing adalah sifat umum yang di miliki oleh rakyat dalam kota itu. Tetapi sekarang bagi si janda, tidak ada makanan untuk di makan, apa
yang ia miliki tidak cukup untuk membuat dirinya dan anaknya untuk tetap hidup.
Bagaimana ia dapat memberikan yang sedikit itu kepada orang yang dihadapannya? Tetapi ia dengan suara yang lembut dan ramah mulai menjelaskan kepada orang asing itu bahwa ia tidak mempunyai roti, tetapi yang ia punyai hanyalah sedikit tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli (1 Raja-Raja 17:12a). Ia sedang menyiapkan makanan terakhir untuknya dan anak kesayangannya. Saat si janda mencoba meyakinkan orang asing itu, dari dirinya seolah-olah ada dorongan untuk harus melakukan sesuatu bagi orang asing itu.
Penampilan orang itu meyakinkan kesadarannya bahwa orang itu lebih membutuhkan makanan dari pada dirinya saat itu. Ia sungguh tidak menyadari bahwa orang yang di hadapannya telah tinggal di sebuah aliran sungai yang telah mengering, dan ia bertahan hidup dari daging dan roti yang dibawa oleh burung-burung gagak (1 Raja-Raja 17:6). Orang asing itupun kembali berkata: ”Janganlah takut, pulanglah buatlah seperti yang engkau katakan, tetapi buatlah lebi dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kau buat bagimu dan bagi anakmu”. (1 Raja-Raja 17;13).
Dan untuk memotivasi si janda sang Nabi kembali meyakinkannya dengan mengutarakan janji ALLAH: ”Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli pun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberikan hujan ke atas muka bumi (1 Raja-Raja 17:14). Janda itu mungkin tertawa dalam hati mendengar janji dari orang asing itu yang kelaparan dihadapannya. Tetapi ia mempunyai suatu keyakinan bahwa ia nantinya toh akan mati baik dengan adanya makanan atau tidak saat itu. Jadi mengapa ia tidak membagikannya kepada orang lain yang sangat kelaparan kendatipun sedikit?
Ketika ia berjalan pulang dengan susah payah kerumahnya bersama orang asing itu, janda yang baik hati itu masih belum mengetahui bahwa tamunya adalah seorang nabi ALLAH. Ia hanya mengetahui bahwa orang asing itu kelaparan dan membutuhkan pertolongan. Nabi Elia pun tinggal di rumah si janda untuk beberapa waktu lamanya: ”Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman Tuhan “. (1 Raj 17;1). Rencana Tuhan terlaksana atas diri si janda dan anaknya yang sakit keras dan hampir mati, tetapi nabi Elia kembali berseru kapada ALLAH dan anak itu pun menjadi sembuh (1 Raj 17;20-22). Atas segala mujizat ALLAH yang terjadi membuat mata hati Si janda terbuka dan mengakui sungguh bahwa Elia adalah benar-benar Nabi Allah dan bahwa ”Tuhan yang Nabi Elia katakan itu adalah benar” (1 Raja-Raja 17:24)
Ada lima hal yang tidak masuk akal manusia dalam kisah Elia dan janda di Sarfat ini.
1. Perintah Tuhan kepada Elia untuk pergi ke Sarfat
Sarfat termasuk wilayah Sidon. Sidon justru adalah asal ratu Izebel (16:31), istri raja Ahab, yang menyebabkan Ahab menyembah Baal dan seluruh Israel berdosa. Izebel pula yang berikhtiar akan membunuh Elia (19:2), dan membunuh Nabot serta merebut kebun anggurnya dengan cara yang sangat licik (pasal 21). Tidak masuk akal jika Tuhan malah menyuruh Elia pergi ke sana. Bahayanya terlalu besar. Ayah Izebel (Etbaal) adalah penguasa Sidon. Maka jika musuh anaknya ketahuan ada di daerah kekuasaannya, dengan mudah ia dapat menyerahkan Elia kepada Izebel. Namun toh Elia pergi juga. Baginya sudah cukup perintah Allah itu. la yakin akan dipelihara dengan cara Tuhan sendiri seperti saat ia berada di tepi Sungai Kerit.
2. Perintah Tuhan kepada seorang janda miskin untuk memberi Elia makan
Dari pihak Elia
la diperintahkan menemui seorang janda yang akan memelihara makan dan minumnya. Bisa jadi Elia membayangkan seorang janda kaya yang mendapat banyak warisan dari almarhum suaminya. Namun jangankan dari dekat, dari pintu gerbang kota saja sudah kelihatan tak ada tanda-tanda kekayaan pada diri sang janda. Mana ada janda kaya yang mengumpulkan kayu api (17:10) Dan ternyata, harta kekayaan sang janda hanya tinggal segenggam tepung dan sedikit minyak, Namun Elia beriman bukan pada apa yang dilihatnya, melainkan pada Allah yang memerintahkannya ke situ.
Dari pihak Janda Sarfat
Tiba-tiba ia kedatangan tamu dari jauh, seorang Yahudi, yang bukannya membawa oleh-oleh tapi malah meminta persediaan pangan terakhirnya, Bisa jadi ia bergumul, mengapa pria (pihak yang kuat) ini tega meminta makanan terakhir dari seorang wanita (pihak yang lemah) yang sedang kelaparan, punya anak yang kelaparan juga. Kalau demi kelanjutan hidup anaknya, mungkin ia rela memberikan bagiannya; tapi untuk seorang asing? Bisa juga sang janda berpikir jika Allah sang nabi sanggup membuat tepung dan minyak tak habis-habis, mengapa la tidak memberi saja makanan pada utusan-Nya? Kenapa harus minta padanya? Sama sekali tak masuk akal. Namun akhirnya ia menuruti perintah Elia. Bisa diartikan bahwa ia putus asa, toh makan atau tidak, sebentar lagi juga akan mati karena tak ada lagi makanan. Lebih baik berbuat baik sebelum mati. Namun kemungkinan berikut lebih positif. Iman sang janda sama kuatnya dengan iman Elia. la yakin Allah sang nabi tidak salah perin¬tah. Maka ia menuruti semuanya itu.
3. Tepung dan minyak yang tak habis-habis
Sangat tak masuk akal bahwa tepung yang segenggam itu setiap hari masih tetap ada segenggam, dan sedikit minyak dalam buli-buli masih terus ada setelah dipergunakan untuk membuat roti. Setiap hari cukup untuk makan tiga orang. Namun sejak perintah itu diberikan memang sudah tidak masuk akal. Itulah cara Allah memelihara Elia dan sang janda serta anaknya, orang-orang yang beriman kepadanya. Tak masuk akal bagi manusia, tapi masuk akal bagi Tuhan.
4. Kembalinya nyawa anak sang janda
Selang beberapa waktu putra sang janda meninggal. Satu-satunya milik yang paling berharga, yang akan menjamin masa tuanya, pergi. Kesedihannya tentu jauh melebihi kesusahan menghadapi kelaparan pada saat sebelumnya. Untuk anaknya dia rela mati. Tapi bila anaknya mati? Apalagi pada dasarnya ia mengira anaknya mati karena kesalahan-kesalahannya di masa lampau (17:18). Entah apakah kesalahan itu Alkitab tidak menuliskan. Namun sekali lagi Allah memelihara kehidupan. la menghidupkan anak itu (17:23). Dan oleh karena perbuatan-Nya itu, sang janda dari negeri kafir, tempat para penyembah Baal, dengan tulus mengaku percaya kepada Allah Israel. Suatu hal yang justru tidak dilakukan oleh Israel, umat Tuhan sendiri.
5. JURANG YANG DIJEMBATANI
Allah, Elia dan Janda Sarfat adalah tiga tokoh utama dari perikop ini.
Janda Sarfat di sini berfungsi sebagai jembatan bagi Elia untuk melaksanakan kehendak Allah. Mereka tidak saling kenal; mereka hidup pada lokasi berjauhan. Namun atas kehendak Allah mereka harus bertemu, supaya satu sama lain dapat melanjutkan kehidupan. Melalui cara Tuhan yang seolah tak masuk akal, mereka dipertemukan. Tentu itu tak akan pernah terjadi apabila Elia tidak mau melintasi jarak yang ada. Juga tak akan pernah terjadi apabila Elia hanya berdiri di depan pintu gerbang kota dan memperhatikan sang janda mengumpulkan kayu bakar. PertoIongan Tuhan tak akan pernah dirasakan oleh keduanya apabila Elia tidak mendatangi sang janda dan sang janda tidak mau memberikan makanan terakhirnya dan menerima sang nabi di rumahnya. Kita tak akan pernah tahu bagaimana kondisi mereka selanjutnya kalau jurang diantara mereka semakin menganga karena tak ada satupun yang mau melintasi jembatan. Oleh: Ev. Liem Thin Ping
Tidak ada komentar:
Posting Komentar