Di dalam Literatur para rabi Yahudi, seorang Rabi yang bernama Eliezer mengajarkan, “Bertobatlah satu hari sebelum kematian Anda”. Para muridnya bertanya, “Tetapi bagaimanakah manusia tahu di hari apa ia akan mati?” Rabi yang bijaksana itu menjawab, “Karena itu, Anda harus bertobat hari ini. Mungkin hari esok Anda akan mati. Dengan demikian manusia harusnya bertobat setiap hari!” Bukankah ini satu fakta kehidupan? Kita tidak tahu kapan pengembaraan kita di dunia ini akan berakhir. Hari esok belum tentu menjadi milik kita. Di zaman ini nyawa seolah-olah sudah tidak punya harga lagi. Untuk alasan sepele manusia akan saling membunuh. Kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput kita. Baru-baru ini di daerah Ancol, Jakarta, hanya gara-gara suara gemuruh knalpot sepeda motor, seorang pemuda bernama Sunarto dikeroyok hingga tewas.
Karena merasa terusik dengan suara bising sepeda motor korban, seorang bapak yang sedang bersantai di depan rumahnya langsung mengambil sebatang galah dan menghadang sepeda motor yang berisik itu. Persoalan sepele inilah yang memicu percekcokan yang akhirnya meragut nyawa pemuda yang baru berumur 27 tahun ini.
Saya pasti Sunarto sama sekali tidak menyangka bahwa tanggal 1 April 2006 merupakan hari terakhir baginya di dunia ini. Pada malam minggu itu ia hanya mau mengunjungi bibiknya yang rumahnya tidak jauh dari kontrakannya. Sama sekali tidak diduganya bahwa itu akan merupakan kunjungannya yang terakhir.
Di pertengahan Februari yang lalu, diberitakan di koran tentang seorang janda tua yang dibunuh oleh cucunya sendiri saat ia sedang tidur pulas. Dengan kejam cucunya mengorok leher korban hanya gara-gara cucunya kesal karena dimarahi setelah kedapatan mencuri rokok di kios. Beberapa hari yang lalu juga diberitakan di New York Times, tentang seorang anak yang membunuh ibunya hanya karena keadaan rumah yang berantakan dan tidak terawat!
Membaca tentang tragedi demi tragedi yang berlangsung setiap hari di setiap belahan dunia; apakah korban pembunuhan, kecelakaan lalu lintas atau perampokan, kita semakin diyakinkan bahwa sesungguhnya tidak ada pengharapan di dunia yang fana ini. Begitu murah dan tidak berarti nyawa seorang manusia. Jikalau kita hidup hanya untuk dunia ini maka kita menjadi orang yang paling patut dikasihani.
Menurut rasul Yakobus, kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Dalam surat yang ditulisnya kepada bangsa Israel yang berada di perantauan, ia bertanya, “Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”
Marilah kita hidup dengan membuat persiapan bagi hari esok yang kekal. Renungkanlah hikmat seorang Rabi Eliezer, bertobatlah setiap hari, kita tidak tahu apakah hari esok masih ada bagi kita. Sebaliknya kita harus berkata, “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”
Oleh: Pdt Robby Schramm-Mojoagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar